Senin, 25 Januari 2010

PENDAHULUAN

Dalam hal pendahuluan kita fokuskan dulu pada kepemimpinan secara umum (Global), karena model-model kepemimpinan adalah sebuah anak cabang dari teori kepemimpinan itu sendiri. Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktifitas anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.

Berdasarkan definisi diatas kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain:

a. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain yaitu para karyawan atau bawahan, para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin.

b. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Kekuasaan itu dapat bersumber dari: Hadiah, hukuman, otoritas dan charisma.

c. Pemimpin harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri, sikap bertanggung jawab yang tulus, pengetahuan, keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan, kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain dalam membangun organisasi.

Kepemimpinan sering disamakan dengan managemen, kedua konsep tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manager dinyatakan secara jelas oleh Bennis dan Nannus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar, sedangkan manager memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat. Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan managemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.

Dari pemaparan kepemimpinan diatas mungkinlah jelas tentang kepemimpinan, namun tentang model-model masih belum karena suatu model adalah suatu penelitian yang setiap saat bisa digugurkan antara satu model dengan model yang lain, karena sebuah model dalam kepemimpinan bersifat dinamis, dan mungkin hal inilah yang akan kita bahas dan menjadi pokok suatu permasalahan antara satu model dengan model yang lain, dan kita juga akan membahas tentang model terbaru (sekarang) yang dianggap lebih efektif dari model-model kepemimpinan sebelumnya.

PEMBAHASAN

Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an memfokuskan perhatian pada perbedaan karakeristik antara pemimpin (Leaders) dan pengikut / karyawan (Followers).

Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkna bahwa tidak terdapat satupun sifat atau watak (Trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tenang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin. Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif.

Untuk memahami factor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi. Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antar watak pribadi, variable-variable situasi keefektifan pemimpin. Hal ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Hasil-hasil penelitian pada periode ini mengarah pada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (Crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat kompleks.

Dalam perkembangannya, model yang relative baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan Transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan Transformasional ini mengintergrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi-kontingensi.

Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli managemen mengenai model-model kepemimpinan yang ada dalam literature, dan agar lebih praktis pembahasan ini kita bagi menjadi dua, yaitu: model-model kepemimpinan masa lalu dan sekarang.

2.1. MODEL-MODEL KEPEMIMPINAN MASA LALU.

2.1.1. Model Watak Kepemimpinan

Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status social ekonomi, dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).

Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori factor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa factor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain.

Disamping itu watak pribadi bukanlah factor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja managerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk untuk mengindifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik, watak dengan efektifitas kepemimpinan, walupun positif tetapi signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).

Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa apabila kepemimpinan didasarkan pada factor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak segnifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepemimpinan pada periode awal ini yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan membuat para peneliti untuk mencari factor-faktor lain (selain factor watak), seperti misalnya factor situasi yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

2.1.2. Model Kepemimpinan Situasional

Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan focus utama factor situasi sebagai variable penentu kemampuan kepemimpinan.

Studi-studi kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai factor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973) menyatakan bahwa factor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan watak pribadinya, menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang mempengaruhi kinerja para pemimpin.

Hoy dan Miskel (1987) menyatakan bahwa terdapat empat factor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat structural organisasi, iklim atau lingkungan organisasi, karakteristik tugas atau peran dan karakteristik bawahan.

Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

2.1.3. Model Pemimpin Yang Efektif

Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang type-type tingkah laku para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikategorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan dan konsiderasi.

a. Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka mencapai tujuan organisasi serta sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka, dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi.

b. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan social dan emosi bagi bawahan, misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi.

Halpin (1966) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek diatas. Dia berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur dan mempunyai hubungan dan persahabatan yang sangat baik. Secara ringkas model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pamimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

2.1.4. Model Kepemimpinan Kontingensi

Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristis watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan fariabel-fariabel situasional.

Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan type kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi / variable situasional dengan watak atau tingkah laku dan criteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Fiedler (1967) beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan dan sesuai situasi yang dihadapinya. Menurutnya ada tiga factor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiganya ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin, ketiga factor tersebut adalah:

a. Hubungan antara pemimpin dan bawahan, yaitu sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan untk mengikuti petunjuk pemimpin.

b. Struktur tugas yaitu sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.

c. Kekuatan posisi, yaitu sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat.

Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variable situasional.

2.2. MODEL-MODEL KEPEMIMPINAN MASA KINI (SEKARANG)

2.2.1. Model Kepemimpinan Transaksional.

Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan serta ditetapkan dengan jelas peran dan tugas-tugasnya.

Menurut Masi and Robert (2000), kepemimpinan transaksional digambarkan sebagai mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara pemimpin dan bawahannya (Contingen Riward), intervensi yang dilakukan oleh pemimpin dalam proses organisasional dimaksudkan untuk mengendalikan dan memperbaiki kesalahan yang melibatkan interaksi antara pemimpin dan bawahannya bersifat pro aktiv.

Kepemimpinan transaksional aktif menekankan pemberian penghargaan kepada bawahan untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu secara pro aktif seorang pemimpin memerlukan informasi untuk menentukan apa yang saat ini dibutuhkan bawahannya.

Berdasarkan dari uraian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa prinsip utama dari kepemimpinan transaksional adalah mengaitkan kebutuhan individu pada apa yang diinginkan pemimpin untuk dicapai dengan apa penghargaan yang diinginkan oleh bawahannya memungkinkan adanya peningkatan motivasi bawahan. Steers (1996).

2.2.2. Model Kepemimpinan Transformasional

Teori ini mengacu pada kemampuan seorang pemimpin untuk memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang individukan dan yang memiliki charisma. Dengan kata lain pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu memperhatikan keprihatinan dan kebutuhan pengembangan diri pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra untuk mencapai tujuan kelompok.

Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.

Untuk memotifasi agar bawahan melekukan tanggung jawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada system pemberian penghargaan dan hukuman pada bawahannya.

Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa pamimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Yamarino dan Bass (1990), pemimpin trasformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.

Bass dan Avolio (1994), mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “The Four I’s”:

a. Perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati sekaligus mempercayai (Pengaruh ideal).

b. Pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan (Motivasi-inspirasi)

c. Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan (stimulasi intelektual).

d. Pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir (konsederasi individu).

Banyak peneliti dan praktisi managemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).

Hasil survey Parry (2000) yang dilakukan di New Zealand, menunjukkan tidak ada pertentangan dengan penemuan-penemuan sebelumnya tentang efektifitas kepemimpinan transformasional. Disamping itu Parry juga berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional dapat dilatihkan, pendapat ini didasarkan pada temuan-temuannya yaitu keberhasilan pelatihan kepemimpinan transformasional yang dilakukan di New Zealand sebagai berikut:

a. Berhasil meningkatkan kemampuan pelaksanaan kepemimpinan transformasional lebih dari 11% (dilihat dari peningkatan hasil usahanya) setelah dua hingga tiga bulan dilatih.

b. Berhasil meningkatkan kegiatan kerja bawahan sebesar 11% setelah dua hingga tiga bulan dilatih.

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang sangat rinci diatas dapatlah disimpulkan bahwa model-model kepemimpinan terbagi dalam dua kategori, dan dari dua kategori itu terdapatlah berbagai kekurangan dan kelebihan, diantara model-model tersebut yaitu:

Selasa, 12 Januari 2010

kisah al'quran

Kisah al-Qur’an
A.    Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai sumber utama bagi umat Islam dalam mengatur segala aspek kehidupannya dan petunjuk bagi sikap dan prilaku baik menjalani kehidupan dunia maupun persiapan menuju akhirat. Karena di dalam Qur’an terdapat norma-norma dan isyarat untuk dapat dijadikan sebagai way of life (lentera kehidupan) dalam mengarungi bahtera kehidupan.
    Sewaktu Islam menghujamkan akarnya di persada tanah arab,  manusia pada waktu itu dibelenggu oleh kegersangan batin, kemusyrikan (watsaniyah) dan pengkebiran rasa kemanusiaan. Seolah-olah Tuhan telah mati. Akhlak dan budi pekerti amat bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Sepertinya ajaran-ajaran agama samawi yang dibawa oleh para rasul sebelum kerasulan Muhammad saw telah terbabat habis. Sebagai wujud dari kesesatan mereka, sewaktu awal kedatangan Islam, mareka berlomba-lomba untuk menentang ajaran baru (Islam) karena ia sangat bertentangan dengan kesewenang-wenangan, perbudakan dan kemusyrikan (watsaniyah) yang di warisi dari moyang mereka.
    Namun oleh karena Islam yang mukjizatnya bersiafat aqliyah-ma’nawiyah  dan sesuai dengan fitrah (cinta kepada sesuatu yang agung melahirkan keberagamaan, cinta kesucian/keiklasan melahirkan estetika, cinta kebenaran melahirkan ilmu, dan cinta keindahan melahirkan seni), secara bertahap kuffar Quraish memeluk agama baru ini dengan senang hati dan penuh percaya diri. Bahkan karakter mereka menjadi terbalik yang dulu benci dan memerangi Islam sekarang  menjadi cinta dan garda terdepan dalam mempertahankan Islam dibumi Saudi Arabia. Untuk itulah perlu dicermati bagaimana metode-metode Tuhan dalam Qur’an untuk membetuk kepribadian mereka menjadi pribadi yang mulia yang konsisten di jalan kebenaran, dan  jiwa mereka tercerahkan kembali dari alam kedurjanaan (syaithoniyah) ke alam kebenaran (Ilahiyah). Salah satu metode-metode Qur’ani ialah mendidik mereka melalui kisah-kisah Qur’ani.  
B.    Hakikat Kisah Qur’ani
Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat.  Dapat pula berarti mencari jejak (QS. Al-Kahfi:64); menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am:57); menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS. Yusuf:5); dan berarti berita berurutan (QS. Ali Imran:62). Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir.  
Sedangkan menurut al-Majub, bahwa kisah al-Qur’an ialah segala jenis dan gayanya merupakan gambaran penjelmaan/pergumulan yang abadi antara nilai-nilai kebajikan yang ditegakkan dalam kepemimpinan para nabi untuk memperbaiki kebejatan yang dilancarkan tokoh-tokohnya.  Dari definisi tersebut paling tidak unsur-unsur yang terkandung dalam kisah Qur’an mencakup (1) keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dan bukan pula tujuan dalam kisah bahkan sang tokoh kadang-kadang tidak disebutkan, (2) kisah mengandung unsur waktu, latar belakang lahirnya kisah (3) mengandung tujuan penggambaran dari suatu keadaan terutama tujuan-tujuan keagamaan, dan (4) peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara bertahap atau pengulangan sesuai dengan kronologis peristiwa dan sesuai pula titik tekan tujuan dari kisah. Kisah Qur’ani merupakan gambaran realitas dan logis bukan kisah fiktif. Menurut Mahmud, kisah Qur’ani selalu memberi makna imajinatif, kesejukan, kehalusan budi, bahkan renungan dan pemikiran, kesadaran dan ‘ibrah (pengajaran). Kesadaran dan ‘ibrah ini sebagai wujud derajat takwa dan takwa sebagai wujud martabat yang paling mulia dalam ibadah.   
C.    Fungsi dan macam-macam Kisah Qur’ani
Kisah Qur’an merupakan karya sastra yang agung, mempunyai tema-tema tertentu, tujuan-tujuan, materi, dan merefleksikan ajaran substansial agama. Kisah Qur’ani bukanlah karya sastra yang bebas, yang bertujuan cerita untuk cerita, seni untuk seni yang kadang-kadang kehilangan fungsi dan idealisme serta tujuan sehingga berimplikasi negatif bagi pendengar atau pembacanya. Sebagaimana jika seseorang membaca cerita novel yang membawa pembacanya ke dunia khayal, dan mimpi-mimpi indah yang bersifat negatif. Kisah Qur’ani berfungsi menggambarkan suatu peristiwa yang pada akhirnya kisah membawa implikasi makna posotif bagi pembaca atau pendengarnya baik makna itu menyentuh ruhani-imannya, intelektualnya, perasaannya ataupun prilaku perkataan, perbuatan dan sikap hidupnya yang pada akhirnya akan dijadikan way of life dalam hidupnya. Lebih rinci  Sayyid Qutub menggambarkan bahwa  kisah Qur’ani berfungsi sebagai lukisan tentang kedahsatan hari kiamat, kenikmatan surga, kesengsaraan neraka, dan juga berfungsi sebagai argumentasi untuk menghantarkan kepada keyakinan adanya kebangkitan, kekuasaan Allah, di samping sebagai penjelas syariat secara terperinci dan perumpamaan yang diungkapkan.  Fungsi-fungsi itu semakin terpatri pada diri pembaca atau pendengar jika ia betul-betul penuh konsentrasi menghayati episode-episode kisah. Karena dalam kisah Qur’ani mengandung berbagai  berbagai penalaran dan  pergulatan antara kebenaran dan kebejatan, kesedihan dan kegembiraan, tantangan dan kemantapan pribadi, kesabaran dan kemarahan, keluhuran dan kebirahian, kegentingan dan kemudahan, menjadikan pembaca atau pendengar dapat mengambil pelajaran dari kisah, apakah pengajaran berkaitan dengan pendidikan iman-ruhani, pendidikan intelektual dan pendidikan akhlak al-karimah serta pendidikan jasmani.
 Menurut Manna al-Qaththan,  kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:
Pertama: Kisah Anbiya’ yakni kisah mengandang dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
Kedua: Kissah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
Ketiga: Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.  
D.    Tujuan-tujuan Edukatif Kisah  Qur’ani
Kisah Qur’ani bukanlah karya seni yang tanpa tujuan, melainkan sarat dengan tujuan, merupakan salah satu di antara sekian banyak metode Qur’ani untuk menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan-ketuhanannya dan salah satu cara untuk menyampaikan dan mengokohkan dakwah Islamiyah.
Diantar tujuan kisah Qur’an ialah merealisasikan yang berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan yang berkaitan dengan fungsi manusia hidup didunia baik sebagai Abdullah maupun sebagai Khalifatullah  karena Qur’an merupakan wahyu Allah yang menjadi kitab petunjuk dan pedoman bagi umat manusia. Melalui metode dan alur kisah, dakwah Islamiyah lebih mudah dicerna, menarik dan dapat menggugah hati pendengar atau pembacanya. Menurut Syatibi, kisah Qur’ani tidak dimaksudkan untuk menambal sejarah bangsa-bangsa atau tokoh-tokoh, akan tetapi kisah itu merupakan ‘ibrah bagi manusia.  
Lebih jelasnya  Manna’ al-Qaththan menggambarkan tujuan  edukatif kisah Qur’ani ialah (1) menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawah oleh para Nabi (QS. Al-Anbiya:25), (2) meneguhkan hati rasulullah atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya, QS. Hud: 120), (3) membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya, (4) menampakkan kebenaran Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi, (5) menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti, (QS. Ali Imran:93), (6) kisah merupakan salah bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.   “Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal” (QS. Yusuf:111). Dengan bahasa yang berbeda dan hampir sama substansinya bahwa menurut Sayyid Qutub  tujuan kisah Qur’ani ialah (1) untuk menegaskan bahwa Qur’an merupakan wahyu Allah dan Muhammad saw benar-benar utusanNya yang dalam keadaan tidak mengerti baca dan tulis, (2) untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh a.s. sampai Muhammad saw bersumber dari Allah swt   dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat (QS. Al-Anbiya’:48 dan 92), (3) untuk menerangkan bahwa dasar agama yang bersumber dari Allah swt, sama-sama memiliki asas yang sama. Oleh karena itu pengulangan dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang,  yaitu mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (QS. Al-A’raf:59, 65, dan 73), (4) untuk menunjukkan bahwa misi para nabi itu dalam berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang dibawapun dari sumber yang sama yakni dari Allah swt (QS. Hud: 25, 50, 60 dan 62), untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw dan nabi Ibrahim a.s. khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat (QS. Al-A’la: 18, 19 dan an-Najm: 36 dan 37), (6) untuk menjelaskan bahwa Allah swt selalu bersama nabiNya, dan menghukum orang-orang yang mendustakan kenabianNya (QS. Al-Ankabut:14-16 dan 24), (7) untuk menguatkan adanya kabar gembira dan siksaan di hari akhir (QS. Al-Hijr: 49-50), (8) untuk menjelaskan nikmat Allah swt terhadap para nabi  dan semua pilihannya (QS. An-Naml:15 tentang nabi Daud; Hud:69, Al-Hijr:51, Maryam:41, Syu’ara:69 menceritakan tentang nabi Ibrahim; Maryam:2 tentang nabi Zakariya a.s.; Yunus:98 tentang nabi Yunus Al-A’raf:103, Yunus:75, Hud:96, Al-Kahfi:60, Thoha:15, Syu’ara:10 tentang nabi Musa a.s.; Maryam: 16-40 tentang Maryam, (9) sebagai peringatan bagi manusia untuk waspada terhadap godaan-godoaan setan dan  manusia semenjak nabi Adam a.s. selalu bermusuhan, dan menjadi musuh abadi bagi manusia, (10) untuk menerangkan akan kekuasaan Allah swt atas peristiwa-peristiwa yang luar biasa, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia (QS. Al-Baqarah:258-259).
Maka pada garis besarnya tujuan kisah Qur’ani ada dua yakni tujuan yang sifatnya spesifik, seperti yang diuraikan oleh Manna al-Qathhan dan Syyaid  Quthub, dan tujuan-tujuan secara umum yakni penggambaran kisah Qur’ani untuk dijadikan  ‘ibrah (pengajaran) bagi pembaca atau pendengarnya apakah berkaitan dengan urusan-urusan keagamaan dalam arti sempit ataukah urusan-urusan keagamaan dalam arti luas yang mencakup ajaran bagi kehidupan dunia dan persiapan menuju akhirat.
E.     Hikmah Edukatif Pengulangan Kisah-kisah  Qur’ani
Pengulangan kisah Qur’ani pada tema sentral yang sama bukanlah dimaksudkan supaya para pendengar atau pembaca hafal isi kisah tetapi lebih jauh dari itu. Pengulangan kisah Qur’ani mempunyai karakteristik tertentu, yakni pengulangan  mempunyai tekanan yang berbeda setiap episode kisah, pengulangan bervariasi dalam gaya dan tujuan kisah sekalipun batang tubuhnya sama sehingga tidak membosankan, dan disampaikan dengan bahasa yang lugas serta dalam kisah memberikan kesempatan untuk mengembangkan pola pikir kreatif.
Lebih jelasnya menurut Sayyid Qutub bahwa konsistensi tujuan kisah adalah demi tujuan-tujuan agamis. Konsistensi ini memberi pengaruh dalam penyajian kisah, bahkan kepada materinya, antara lain: Pertama: Pengaruh konsistensi ini terjadi pada pengulangan kisah dengan beberapa kali pada surat yang bervariasi. Pengulangan ini tidak mencakup seluruh kisah, tetapi pengulangan hanya pada bagian tertentu saja. Batang tubuh kisah utuh tidak diulang kecuali jarang untuk kasus-kasus tertentu. Orang yang membaca dan menelaah kisah Qurani dengan episode-episode yang diulangi dengan mengamati alur secara tepat, baik pemilihan episode yang muncul, ataupun cara pemunculan kisah.  Kedua: Pengaruh konsistensi kisah Qur’ani demi maksud-maksud keagamaan. Pengulangan kisah Qur’ani dapat terjadi pada awal atau akhir dan kadang-kadang keseluruhan kisah. Ketidak seragaman ini disebabkan dimensi sejarah yang bukan dimensi yang paling pokok dari kisah-kisah Qur’ani.
Hikmah edukatif yang terkandung dalam kisah Qur’ani adalah menunjukkan kebalaghahan (kefasihan) Al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi, menampakkan kekuatan I’jaz (melemahkan), yang dengannya bahasa al-Qur’an tidak dapat ditandingi dan merupakan kebenaran firman Allah swt, disamping itu dengan adanya pengulangan sebutan adalah untuk ta’kid (penguatan) dan perhatian yang besar seperti keadaan kisah Nabi Musa dengan Firaun.
Menurut Abdurrahman Saleh bahwa pengulangan fakta yang sama lebih dari satu surah Al-Quran tidak sama dengan hanya berupa pengulangan, karena ternyata pengulangan tersebut berkumpul banyak variasi dalam fakta. Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan bagi pendidikan.  Pada waktu peserta didik memerlukan pengulangan tentang sebagian pelajaran, maka guru tidak perlu menirukan atau mengulangi lagi dengan cara yang sama persis sebelumnya, karena akan menimbulkan kesan seolah-olah mengabaikan hal baru. Kenyataan menyebutkan, pelajaran yang belum dipahami dalam pertemuan pertama mengisyaratkan perlunya perubahan metode. Pengulangan yang dipadukan dengan ilustrasi-ilustrasi atau hal-hal baru adalah lebih produktif ketimbang hanya pengulangan yang akan membosankan. Untuk mengilustrasikan variasi fakta pengulangan kisah Qur’ani kita lihat umpamanya penolakan Iblis untuk sujud ta’dzim (penghormatan) kepada  Adam yang terulang sebanyak tujuh surat al-Qur’an.
Sikap Iblis yang negatif kepada Adam dikatakan sampai tujuh surat. Tiga surat (Al-Kahfi, Al-A’raf dan Thaha) berbicara tentang penolakan Iblis sujud sebagai sujud ta’dzim  kepada Adam karena kapabilitas keilmuan yang dimiliki Adam, tidak lebih dari itu. Dalam QS. Thaha:116, kata ‘aba (membangkang) juga dijelaskan dengan pengulangan pada QS. Al-Baqarah:34 dan Al-Kahfi:50. Kemudian kata istakbara (menyombongkan diri) dihimpun dalam pernyataan  “aba” tersebut. Dalam empat surat lainnya (Al-A’raf, Bani Israil, Al-Hijr, dan Shad) merupakan alasan Iblis menolak sujud ta’dzim kepada Adam dengan satu variasi pengulangan. Dalam QS. Bani Israil:61 dijelaskan, penolakan sujud itu sehubungan dengan kenyataan, karena Adam diciptakan dari tanah lempung. Dalam Al-Hijr:28 dikatakan bahwa asal usul manusia itu dari tanah kering yang terbuat dari tanah hitam. Dalam QS. Al-A’raf:12 dan Shad: 76, kejadian Adam dari tanah ini dibandingkan kejadian Iblis dari api menjelaskan, bahwa bukti ini sebagai isyarat Adam mempunyai kedudukan lebih rendah ketimbang Iblis. “Kata Iblis: “Aku lebih baik ketimbang dia (Adam).” Karena Engkau menjadikan aku dari api dan Engkau jadikan dia dari tanah.” (QS. Shad:76).
F. Sasaran-sasaran   Tarbiyah Islamiyah dalam Kisah-kisah Qur’ani
Semua kisah yang terkandung dalam Qur’an bukan sekedar menerangkan umat masa lalu, para nabi dan rasul, tetapi jangkauannya jauh lebih luas, jangkauannya tidak hanya urusan-urusan keakhiratan tetapi juga urusan-urusan keduniaan.  Menurut Muhammad Quthb, bahwa pembaca atau pendengar sebuah kisah tidak dapat tidak bersikap kerjasama dengan jalan kisah dan orang-orang yang terdapat di dalamnya. Sadar atau tidak, ia telah menggiring dirinya untuk mengikuti jalan cerita, mengkhayalkan bahwa ia berada di pihak ini atau itu, dan sudah menimbang-nimbang posisinya dengan posisi tokoh cerita, yang mengakibatkan ia senang, benci, atau merasa kagum.  
Maka sebagai sararan tarbiyah yang dibidik Murabbi (Allah) antara lain:
Pertama: Tarbiyah Qalbiyah-Imaniyah-Ruhiyah yakni melalui  kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) membidik umat manusia agar selalu memantapkan hati dan jiwa yang penuh  iman (iman letaknya dalam hati), menjaganya dan meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Ruhani manusia agar terus menerus dapat kontak dengan Rabbnya tanpa terputus dengan pergulatan, penderitaan, kenestapaan hidup, kemawahan dunia serta kekejaman dan tipudaya syetan-nafsu birahi.
Kisah yang baik dan cermat tentu digemari dan menembus relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsur-unsurnya dapat dijelajahi akal sehingga ia dapat memetik ‘ibrah yang dijadikan way of life  dalam hidupnya. Dalam kisah terkandung pembangkitkan berbagai perasaaan seperti khauf, ridha, dan cinta; mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpu pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah; melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional. Bacalah kisah Ashhab al-Kahfi (QS. Al-Kahfi:9-26), para pemuda tersebut berada di gua selama 309 tahun menurut perhitungan Qomariah atau 300 tahun menurut perhitungan Syamsiah. Para pemuda tersebut keluar dari kampungnya demi menjaga iman mereka sebagai pengikut Isa a.s., agama Kristen. Menurut M. Quraish Shihab bahwa yang memerintah pada tahun 98 – 117 M dan pada sekitar tahun 112 M (pada masa Ashab al-Kahfi) menetapkan bahwa setiap orang yang menolak menyembah dewa-dewa dijatuhi hukuman sebagai pengkhianat.  Para pemuda tersebut termasuk yang monolak mentaati menyembah dewa-dewa, maka sebagai akibatnya mereka harus mengembara ke gua demi mempertahankan iman yang berurat berakar dalam jiwa mereka. Dalam QS. Al-Kahfi:10) disebutkan: (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi:13).
Baca pulalah kisah Nabi Ayyub a.s. misalnya (QS. Shaad:41-44 dan Al-Anbiya’:83-84) yang ruhaninya selalu kontak dengan Rabbnya dan tidak pernah putus dengan dua gelombang kehidupan yang dialaminya. Gelombang pertama ialah dengan bergelimpangan kemewahan hidup,  dengan rezki yang luas, mengepalai keluarga besar dengan rukun dan damai, . Pada gelombang ini Nabi Ayyub s.a.  tetap ruhaninya kontak dengan Rabbnya dengan cara ibadahnya tekun, sayang dan berinfaq kepada pakir miskin, mensyuruki nikmat-nikmat Allah, mengajari orang-orang bodoh, hari-harinya terisi penuh dengan ibadah, sujud kepada Allah, mulutnya berbasah-basah dan tidak pernah berhenti menyebut asma Allah berdzikir, bertasbih dan bertahmid sampai-sampai para malaikat berbincang-bincang di langit untuk memuji sifat-sifat positif  Nabi Ayyub a.s.  sekalipun diberikan ujian kesenangan dunia yang luar biasa. Gelombang kedua berupa ujian Tuhan yang bertubi-tubi ke  Nabi Ayyub a.s.  berupa penderitaan dan jeritan hidup yang sangat dahsyat. Rupa-rupanya pujian-pujian malaikat kepada Nabi Ayyub a.s. di dengar oleh Iblis, dan Iblis minta izin kepada Tuhan untuk menggoda dan mencoba Nabi Ayyub a.s. dan Tuhanpun mengizinkannya. Ringkas kisah, kekayaan yang dimiliki Nabi Ayyub a.s. ludes seketika, gedung-gedung pencakar langit runtuh berserakan, keluarga yang penuh damai dan bahagia telah menemui ajalnya, fisik Nabi Ayyub a.s. menderita kesakitan yang luar biasa yang sampai-sampai orang-orang sekampungnya mengasingkannya kerena takut terjangkit penyakit Nabi Ayyub a.s. dan isterinyapun telah meninggalkannya sekalipun karena diusir oleh Nabi Ayyub a.s. sendiri karena istirinya setengah protes kepada Nabi Ayyub a.s. agar Nabi Ayyub a.s. “memohon kepada Tuhannya untuk dibebaskan dari segala penderitaan dan musibah yang berkepanjangan”.  Namun hati yang dipenuhi iman dan ruhani Ayyub a.s. tetap tanpa tergoda apapun. Diapun berseru, “Allah yang memberi dan Dia pulalah yang mengambil kembali. Segala puji bagi-Nya, Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut.” Setelah  ditinggal isterinya yang diusirnya karena mengeluh, maka Nabi Ayyub bermunajat kepada Rabbnya, lalu berucap: “Wahai Tuhanku, aku telah diganggu oleh syaitan dengan kepayahan dan kesusahan serta siksaan, dan Engkaulah wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Allah menerima do’a Nabi Ayyub yang mencapai puncak kesabaran dan keteguhan iman serta berhasil memenangkan perjuangan melawan hasutan dan bujukan Iblis. Allah mewahyukan firman kepadanya: “Hantamkanlah kakimu ke tanah. Dari situ air akan mancur dan dengan air itu engkau akan sembuh dari semua penyakitmu dan akan pulih kembali kesehatan dan kekuatan badanmu jika engkau gunakan untuk minum dan mandimu”.  Nabi Ayyaub a.s. berhasil memenangkan pertarungan hidup baik sewaktu dikalungkan dengan kesenangan hidup maupun sewaktu ditimpa jeritan hidup yang luar biasa itu. Tarbiyah hati yang dipenuhi dengan iman dan ruhiyah yang tidak pernah putus dengan Tuhan sangat terasa pada kisah ini.    
 Kedua: Tarbiyah ‘Aqliyah-Fikriyah yakni melalui kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) berkeinginan agar manusia mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh Murabbi dengan mendidik orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiri dalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya sehingga setelah mengikuti alur kisah peserta didik  (pembaca/pendengar) dapat mengambil pengajaran yang bermanfaat.
Kisah Qur’ani memberikan kesempatan mengembangkan pola pikir sehingga terpuaskan, sebagaimana terlukiskan yaitu dengan jalan pengisyaratan, sugesti dan penerapan. Sekiranya tidak memiliki keimanan yang benar, tentu Yusuf tidak sabar mengamali keterasingannya di dalam sumur, tentu pula tidak akan tabah memerangi kekejian serta menjauhi ketergelinciran di dalam rumah isteri Al-Aziz. Dalam kisah Yusuf ini prinsip kebenaran yang dijadikan patokan tokoh kisah dan sekaligus untuk mencintai sifat-sifat tokoh yang mengagumkan itu serta kemenangannya dalam pertarungan antara yang hak dan yang batil berkat kesabarannya dalam waktu yang cukup lama. Untuk pengembangan pola pikir, kisah Qur’ani juga untuk mengajak berpikir dan merenung. Kisah-kisah Qur’ani tidak lepas dari dialog yang mengandung dan mengundang penalaran. Adapun tema pokoknya ialah bahwa yang hak menjadi pihak yang menang. Dalam dialog tersebut, yang menghasilkan kesimpulan, berupa pemantapan kebenaran dan keagungannya. Hal ini akan dapat mempengaruhi dan memperkokoh jiwanya dan berpengaruh pula terhadap jiwa masyarakat pada umumnya, berkat pertolongan Allah terhadapnya. Di dalam kisah Yusuf kita mendapatkan sebuah dialog antara dia dengan dua orang pemuda yang sama-sama menghuni penjara, lalu dia menyeru mereka supaya mentauhidkan Allah.
Nuansa tarbiyah fikriyah lebih terasa jika pembaca atau pendengar merenungkan kisah Ibrahim a.s. ketika ia menemukan Tuhan yang sebenarnya melalu proses berpikir dan perenungan. Dengan pola pikir induktif yang disertai dengan perenungan yang mendalam, Ibrahim akhirnya dapat menyimpulkan siapa sebenarnya Tuhan yang patut disembah itu. Mula-mula Ibrahim (QS. Al-An’am: 75-82) melihat bintang-bintang di malam gelap gulita. Ia berkata “Inilah Tuhanku. Lalu bintang-bintang itu tenggelam menjelang subuh. Ibrahim berpikir sambil merenung dan menyadari kesalahannya, lantas ia berkata, “saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kejadian serupa dialaminya ketika melihat bulan terbit, kemudian tenggelam, melihat matahari terbit, lalu terbenam. Dari berbagai kasus yang dialaminya disertai dengan perenungan dan mengkritisan kejadian pada akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan yang sebenarnya.
Ketiga: Tarbiyah Khuluqiyah yakni sebuah pelatihan manusia untuk berakhlak mahmudah (mulia) dan memiliki kebiasaan sifat-sifat terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan sifat tertanam kuat dalam diri manusia, yang dengannya ia mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari akhlak madzmumah (tercela).
Kisah Qurani akan dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas serta aktivitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi manusia untuk mengubah prilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan tuntunan, pengarahan dan akhir kisah itu, serta pengambilan pelajaran darinya. Menurut Nahlawi, kisah Qur’ani merupakan  penyentuhan nurani manusia dalam keadaannya yang utuh menyeluruh, sebagaimana terjelma dalam tokoh-tokoh utama yang sengaja ditampilkan al-Qur’an kepada umat manusia. Masing-masing tokoh itu ditampilkan pada pusat perhatian selaras dengan konteksnya. Penampilan pelaku kisah itu disajikan secara sangat mengena, sesuai dengan tempatnya, fungsi dan upaya pencapaian tujuan edukatif dari penyajinya. Al-Qur’an menyajikan penampilan seluruh tokoh ini secara wajar dan objektif, tanpa dicampuri sikap keji atau terangsang untuk berbuat keji dan dosa. Karena tujuan terpenting kisah Qur’ani adalah tarbiyah khulukiyah melalui pelukisan watak manusia secara nyata serta menggugah untuk diresapi dan diteladani.   Dalam QS. Yusuf: 87-111, Nabi Yusuf memberi contoh teladan akhlak mahmudah bagi kemurniaan jiwanya dan keteguhan hatinya tatakala menghadapi godaan Zulaikha, majikannya. Ia diajak berbuat mesum oleh Zulaikha yang masih muda belia, cantik dan berpengaruh, sedang ia sendiri berada dalam puncak birahi kemudaannya, di mana nafsu birahi seseorang masih berada di tingkat puncaknya. Akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dengan menolak ajakan majikannya itu, karena ia takut kepada Allah. Sebagai akibat dari penolakan itu ia rela dipinjarakan demi mempertahankan keluruhran akhlaknya dan  keteguhan imannya. Jiwa kesatriaan juga ditunjukkan oleh Yusuf dengan keengganannya dikeluarkan dari pinjara sebelum persoalannya dengan Zulaikha dijernikan dengan seadil-adilnya. Ia tidak mau dikeluarkan dari pinjara karena memperoleh ampunan dari raja berarti pula benar-benar Yusuf di pihak yang salah, tetapi ia dikeluarkan sebagai seorang yang bersih, suci dan tidak berdosa dan terbebas dari tuduhan-tuduhan dan fitnah  melalui proses pengadilan yang jujur dan terbuka. Hal itu terbukti di pengadilan, bahwa yang bersalah adalah dipihak Zulaikha. Keluhuran akhlak Nabi Yusuf menonjol ketika ia menerima saudara-saudaranya di Mesir untuk memperoleh jatah pembelian gandum dari gudang pemerintah kerajaan Mesir. Nabi Yusuf pada saati itu, sekiranya  ia mau ia dapat melakukan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yang telah melamparkannya ke dalam sumur dan memisahkannya dari ayah tercinta. Namun sebaliknya ia bahkan menerima mereka dengan ramah dan melayani kebutuhan mereka dengan penuh kasihsayang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa yang ia alami akibat tindakan saudara-saudaranya yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Menurut Nahlawi, kisah yang memikat dan menarik perhatian pembaca; tanpa memakan waktu lama. Kisah seperti ini mengundang  si pembaca untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, serta terkesan oleh watak pribadi pelaku kisah itu. Pada biasanya kisah dalam bentuknya yang paling sempurna dimulai dengan mengemukakan tuntutan, ancaman, peringatan akan bahaya, atau lain sebagainya yang dijalin dalam ikatan cerita.  Menurut Manna’ al-Qaththan pada umumnya manusia suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya, kemudia ia menirukan dan mengisahkannya.  
Biasanya kisah Qur’an, identitas pahlawan dalam peristiwa yang terjadi tidak selalu diungkapkan, maka pemujaan kepada suatu pribadi manusia itu bukan merupakan tema sentral. Menurut Abdurrahman Saleh bahwa peristiwa-peristiwa sejarah bangsa-bangsa terdahulu berkaitan dengan tema umum, yakni perjuangan antara yang baik dan yang buruk yang menimbulkan kehancuran bagi bangsa-bangsa terkemudian.   
Kisah Qurani ditampilkan dengan penuh makna, tampilannya tidaklah menjauhkan diri dari sifat-sifat manusia, tidak pula membumbung tinggi ke dalam khayali, karena kisah itu disajikan sebagai terapi edukatif bagi manusia. Terapi tepat apabila membentangkan berbagai kelemahan dan kekeliruan tabiat manusia. Kemudian aspek-aspek yang lemah dan keliru dari watak manusia ini ditampilkan sebagai kontras terhadap aspek lain yang sungguh dan agung, sebagaimana direalisasikan oleh para rasul dan kaum muslimin. Keagungan, kebenaran dan kemuliaan ini dituangkan di akhir kisah, setelah melalui berbagai percobaan, kesabaran dan perjuangan. Inilah realisasi terapi yang menggambarkan kemenangan dakwah Ilahiyah dan kerugian bagi kaum musyrikin dan kaum yang tidak benar.


F.    Simpulan
Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman, maka manusia harus selalu mempelajari, meneliti, memperinci sehingga dapat dijadikan norma-norma konkrit dalam mengarahkan prilaku manusia. Agar ajaran Al-Qur’an dapat diserap dan diinternalisasi manusia, maka Tuhan memberi macam cara edukatif yang sesuai dengan fitrah manusia. Salah satunya ialah dengan metode kisah.  Kisan Qur’ani mencakup  keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dalam kisah; setiap kisah Qur’ani menggambarkan suatu keadaan yang mengandung tujuan-tujuan tertentu yang pada umumnya bersifat keagamaan dan  peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara berulang-ulang  sesuai dengan kronologis peristiwa dan aksentuasi tujuan-tujuannya.
Banyak nilai-nilai yang bermakna dan edukatif dari kisah qur’ani, seperti memikat pembaca atau pendengar karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, yang selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan mendalam dalam hati pembaca atau pendengar tersebut; mendidik perasaan keimanan; menyentuh hati karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Kisah yang tertuang dalam Quran membawa pengaruh yang dalam terhadap Tarbiyah Qalbiyah-Ruhiyah-Imaniyah, Tarbiyah Fikriyah dan Tarbiyah Khulukiyah. Karena kisah Qur’ani tersebut merupakan gambaran yang realistis, logis, agung, teologis, bukan kisah khayali, dan bukan pula kisah yang menjijikkan.
Pengulangan kisah Qurani pada subyek yang satu, kisah Adam misalnya adalah banyak variasi dalam fakta. Pengulangan kisah tidak sama tetapi  berbeda dalam episode, substansi materi dan tujuan penggambaran kisah. Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan dengan nilai-nilai pendidikan terutama sebagai penguatan dan penambahan wawasan pendengar atau pembaca terhadap alur kisah. Demikan, Wallahu a’lam bishshawab.

dasar-dasar organisasi

DASAR-DASAR ORGANISASI



I.PENGERTIAN ORGANISASI

Organisasi adalah satu jnis wadah perlengkapan di masyarakat yang dibikin oleh orang-orang dengan tujuan dapat memperoleh efesiensi kerja tertentu yang sebesar-besarnya. Kantor adalah bagian dari organisasi yang menjadi pusat kegiatan administrasi dan tempat pengendalian kegiatan informasi. Berarti segala macam urursan di dalam organisasi harus melewati kegiatan kantor dan keluar masuknya informasi menyangkut organisasi juga harus melalui kantor. Organisasi itu sendiri dibentuk oleh orang-orang dengan tujuan tertentu yang dapat dipetik hasilnya secara bersama-sama, berarti cukup ditangani secara sendiri perorangan, maka orang-orang tidak akan membuat wadah yang disebut organisasi.

II.UNSUR-UNSUR ORGANISASI

Kalau kita memperhatikan penjelasan di atas tentang pengertian organisasi maka dapatlah di katakan bahwa setiap bentuk organisasi akan mempunyai unsur-unsur tertentu, yang antara lain sebagai berikut :

1. Sebagai Wadah Atau Tempat Untuk Bekerja Sama
Organisasi adalah merupakan merupakan suatu wadah atau tempat dimana orang-orang dapat bersama untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan tanpa adanya organisasi menjadi saat bagi orang-orang unutk melaksanakan suatu kerja sama, sebab setiap orang tidak mengetahui bagaiman cara bekerja sama tersebut akan dilaksankan. Pengertian tempat di sini dalam ari yang konkrit, tetapi dalam arti yang abstrak, sehingga dengan demikian tempat sini adalah dalam arti fungsi yaitu menampung atau mewadai keinginan kerja sama beberapa orang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pengertian umum, maka organisasi dapat berubah wadah sekumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu misalnya organisasi buruh, organisasi wanita, organisasi mahasiswa dan sebagainya.

2. Proses kerja sama sedikitnya antar dua orang
Suatu organisasi, selain merupakan tempat kerja sama juga merupaka proses kerja sama sedikitnya antar dua orang. Dalam praktek, jika kerja sam atersebut di lakukan dengan banyak orang, maka organisasi itu di susun harus lebih sempurna dengan kata lain proses kerja sama di lakukan dalam suatu organisasi,mempunayi kemungkinan untuk di laksanakan dengan lebih baik hal ini berarti tanpa suatu organisasi maka proses sama itu hanya bersifat sementara, di mana hubungan antar kerja sama antara pihak-pihak bersangkutan kurang dapat diatur dengan sebaik-baiknya.

3. Jelas tugas kedudukannya masing-masing
Dengan adanya organisasi maka tugas dan kedudukan masing-masing orang atau pihak hubngan satu dengan yang lain akan dapat lebih jelas, dengan demikian kesimpulan dobel pekerjaan dan sebagainya akan dapat di hindarkan. Dengan kata lain tanpa orang yang baik mereka akan bingung tentang apa tugas-tugasnya dan bagaimana hubungan antara yang satu dengan yang lain.

4. Ada tujuan tertentu
Betapa pentingnya kemampuan mengorganisasi bagi seorang manajer. Suatu perencana yang kurang baik tetapi organisasinya baik akan cendrung lebih baik hasilnya dari pada perencanaan yang baik tetapi organisasi tidak baik. Selain itu dengan cara mengorganisiasi secara baik akan mendapat keuntungan antara lain sebagai berikut :
Pelaksanaan tugas pekerjaan mempunyai kemungkinan dapat dilaksanakan secara

III.EFISIEN DAN EFEKTIFITAS
Secara ringkas unsur-unsur organisasi yang paling dasar adalah :
- Harus ada wadah atau tempatnya untuk bekerja sama.
- Harus ada orang-orang yang bekerja sama.
- Kedudukan dan tugas masing-masing orang harus jelas.
- Harus ada tujuan bersama yang mau dicapai.

GAGASAN AL-QUR’AN TENTANG PLURALISME:

GAGASAN AL-QUR’AN TENTANG PLURALISME:
Merajut Kasih menggapai Toleransi Kehidupan Beragama

I. Pendahuluan
Memasuki abad 21, masyarakat telah mencapai kemegahan dunia material dan kecanggihan teknologi. Pemikiran berbagai persoalan muncul dan terus menggelinding seiring dengan dinamika masyarakat, termasuk pemikiran yang bersifat keagamaan. Salah satu  wacana yang laris dan mendapat respons adalah pemikiran tentang pluralisme, bahkan setiap waktu selalu mencuat ke permukaan lalu gencar diperbincangkan orang, baik itu melalui media tulisan, reportase, forum seminar, dialog interaktif secara formal maupun informal, tidak saja oleh para akademisi dan pakar semata, tetapi para politisi, negarawan maupun rohaniawan tak urung ketinggalan. Menurut hemat saya, pluralisme sebagai sebuah diskursus mungkin tidak ada persoalan, tetapi pada ranah empirik-sosiologis mungkin sekali masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, artinya teks yang bersifat interpretable itu masih membelenggu umat pemeluk masing-masing agama, sementara pada dataran konteks  berhadapan dengan ragam persoalan sosial-budaya, politik dan ekonomi. Salah satu gagasan besar pluralisme yang mendapat respon cukup besar adalah “Toleransi Hubungan antar Agama” di samping gagasan-gagasan lain yang tak kalah pentingnya.
Dalam kenyataannya, tidak seluruh masyarakat beragama kenal betul term pluralisme baik secara literal-etimologis maupun secara konseptual-terminologis. Di berbagai literatur terdapat ragam istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian pluralisme, misalnya, misalnya istilah “kemajemukan yang didasari oleh keunikan atau kekhasan” ,  “kemajemukan” , “keragaman” , “kebhinnekaan”,  lintas agama dan budaya” , dan istilah verbal lainnya yang tak terdokumentasikan. Dalam tulisan ini, akan dicoba ditelusuri teks-teks kitab suci Islam yang dipandang terkait – al-Qur’an dan al-Hadis – dengan


gagasan di atas, baik yang telah dikaji dan ditafsirkan secara tematis (maud}u>’i>) maupun bersifat analitis (tahli>li>) dengan berbagai pendekatan dan perspektif. Pembicaraan masalah toleransi, yang menjadi salah satu agenda penting pluralisme, berangkat dari sebuah realitas dalam masyarakat - secara mikro maupun makro – di mana terjadi benturan teologis agama-agama, yang pada gilirannya telah menimbulkan benturan kultural maupun teologis, karena masing-masing pemeluk agama berusaha memperluas eksklusivitasnya sendiri, dengan mengibarkan bendera identitas untuk membuktikan dirinya yang terkuat, paling kredibel, dalam kerangka mempertahankan eksistensinya. Hal ini secara cepat memicu timbulnya klaim-klaim kebenaran monolitik, yang secara lambat laun turut memicu munculnya pertikaian dan konflik di antara agama-agama, sehingga timbul perpecahan di antara pemeluk agama-agama itu sendiri, baik dalam skala kecil regional maupun besar, nasional bahkan internasional.
Sekalipun iklim pluralisme telah berhembus memenuhi horizon dunia, mendobrak benteng-benteng teologi, tampaknya paham ini belum sepenuhnya bisa diterima, baik di tingkat diskursus maupun realitas faktual oleh karena hambatan-hambatan tertentu. Pemersatuan antara yang ideal (das sein) dengan kenyataan-kenyataan sosial-religius (das sollen) di lapangan belum menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Keprihatinan inilah barangkali dapat menjadi daya dorong mendeskripsikan gagasan al-Qur’an tentang pluralisme dengan jalan menangkap landasan teologis, filosofis dan etisnya. Ada 4 tema pokok pandangan al-Qur’an tentang pluralisme, yaitu: 1) kebebasan beragama, 2) pengakuan atas eksistensi agama-agama, 3) kesatuan kenabian, dan 4) kesatuan pesan ketuhanan.
Tulisan kecil ini mencoba memberikan secercah kontribusi pemikiran keagamaan – pluralisme – dalam upaya memahami konsep al-Qur’an dengan merujuk literatur tafsir al-Qur’an dan karya-karya publikatif lainnya dengan melihat aspek eksternalitas, tanpa memasuki relung-relung internalitas kedalaman keberagamaan manusia. Diharapkan dapat menambah khazanah tulisan-tulisan yang telah ada, meski hanya sebatas pemekaran pemikiran.
II. Batasan Pengertian Pluralisme
Kata “pluralism” berasal dari bahasa latin “plures”, yang berarti “beberapa” dengan implikasi perbedaan, dalam bahasa Indonesia kata tersebut setara dengan majemuk. Pengertian kemajemukan (pluralitas) – beragama – sebenarnya telah terindikasikan di dalam al-Qur’an: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu kembali semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu persengketakan itu” (Q.S. al-Ma’idah: 6:48).
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa ‘masyarakat kita majemuk’, ‘beraneka ragam’, ‘heterogen’ ‘plural’ terdiri dari ‘berbagai suku dan agama’, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi.  Apalagi pluralisme hanya
dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good) dari fungsinya untuk menyingkirkan fanatisme. Bagi Budhy, pluralisme harus dipahami sebagai ‘pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”, yang mengarah pada suatu keharusan untuk menyelamatkan umat manusia.  
Persoalan fundamental yang menghambat lahirnya dialog adalah sikap eksklusivistik umat beragama dalam memandang agama lain. Seorang eksklusivis akan melihat orang di luar agamanya sepenuhnya dengan kesalahan, dan kerena itu bersemangat untuk menariknya masuk dalam agama yang diyakini kebenarannya dan tentu saja karena itu terselamatkan.  

makna garuda pancasila

Garuda Pancasila

Garuda Pancasila merupakan lambang negara Indonesia. Lambang ini dicipta oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Sukarno. Sedangkan Pancasila itu sendiri merupakan dasar falsafah negara Indonesia, kata "Pancasila" terdiri daripada dua patah perkataan bahasa Sanskrit, iaitu pañca yang bermaksud "lima" dan śīla yang bermaksud "prinsip" atau "asas".

Pancasila
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeza-beza sehingga terbina kerukunan hidup.
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2.Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Mengakui persamaan darjah, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
Saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap bertimbang rasa.
Tidak bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia berasa dirinya sebagai sebahagian masyarakat Dunia Antarabangsa dan dengan itu, harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa yang lain.
3.Persatuan Indonesia
Menjaga Perpaduan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rela berkorban demi bangsa dan negara.
Cinta akan Tanah Air.
Berbangga sebagai sebahagian daripada Indonesia.
Memajukan pergaulan demi perpaduan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika (bermaksud "berbeza beza, tetapi tetap satu jua").
4.Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan budaya perbincangan atau sepersetujuan dalam mengambil keputusan bersama.
Berbincang atau bermesyuarat sehingga mencapai sepersetujuan, diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5.Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Bersikap adil terhadap satu sama lain.
Menghormati hak-hak orang lain.
Menolong satu sama lain.
Menghargai orang lain.
Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.

Makna lambang Garuda Pancasila
Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, iaitu:
Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Pokok Ara melambangkan sila Perpaduan Indonesia
Kepala lembu melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permesyuaratan/Perwakilan
Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah bererti berani dan putih bererti suci
Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
Jumlah bulu melambangkan hari pengisytiharan kemerdekaan Indonesia (17 Ogos 1945), antara lain:
Jumlah bulu pada setiap sayap berjumlah 17
Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
Jumlah bulu di leher berjumlah 45
Pita yang dicengkeram oleh burung helang bertuliskan semboyan negara Indonesia, iaitu Bhinneka Tunggal Ika yang membawa pengertian "berbeza beza, tetapi tetap satu jua".

SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA

 Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ). 1 Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
 Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
 Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5
 Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
 Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
1.Tafsir At-Tobary terbit 12 jilid
2.Tafsir Ibnu Katsir dengan 4 jilid
3.Tafsir Al-Baghowy
4.Tafsir Imam As-Suyuty tebitr 6 jilid.
 Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :

1.Tafsir Al-Qurtuby (الجامع لأحكام القران )
2.Tafsir Al-Jalalain (تفسير الجلالين)
3.Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل).
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
1.Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل )
2.Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
3.Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1.Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2.Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3.Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4.Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5.Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6.Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
 CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA

Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
 2. Tafsir Ibnu Katsir

Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
 
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling
banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti
dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,
qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
 


4.Tafsir Syinqithy

Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323.
2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-
qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342

job deskription dan GBHO

JOB DIS PENGURUS HIMA PRODI PBA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN



1.Struktur Kepengurusan
Susunan pengurus Hima Prodi PBA Fakultas Agama Islam Universitas Yudharta Pasuruan terdiri dari:
a.Ketua
b.Sekretaris
c.Bendahara
d.Devisi Intelektual dan pengembangan Bahasa
e.Devisi Minat Bakat
f.Komite Hubungan Masyarakat (Humas)

2.Pembagian Tugas (job description)
a.Ketua
Memimpin dan mengkoordinir anggota ditingkat komisariat
Mengkoordinir semua kinerja pengurus komisariat
Memimpin evaluasi kerja komisariat
Bertanggung jawab atas kinerja dalam satu periode
Membuat Laporan Pertanggungjawaban disetiap akhir periode
b.Sekretaris
Membantu ketua mengkoordinir kinerja administrasi.
Mendampingi ketua dalam hal manajemen organisasi.
Mengarsip segala macam administrasi.
Bertanggung jawab atas kinerjanya selama satu periode kepada ketua.
Mambantu ketua dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban disetiap akhir periode.
Menandatangani surat bersama ketua.
c.Bendahara
Mengkoordinir pendanaan organisasi.
Menginventarisir sumber pendanaan organisasi.
Menetapkan administrasi keuangan.
Mengatur sirkulasi keuangan organisasi.
Bertanggung jawap atas kinerja selama satu periode kepada ketua.
Membantu ketua dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban disetiap akhir periode.
d.Devisi Intelektual dan pengembangan bahasa
Membantu pola pengembangan bahas dan takallum anggota khususnya anggota swadidik.
Menginventarisir materi-materi diskusi dan hasilnya.
Mengadakan dikusi-diskusi multitema
Bertanggung jawab atas semua kinerja dalam satu periode.
Membantu ketua dalam satu periode.
Menetapkan silabus materi dalam 1 periode.
Membuat laporan PJ kepada ketua dalam 1 periode
e.Komite Hubungan Masyarakat (HUMAS)
Membangun citra baik HIMA di Kampus dan luar kampus.
Memperluas jaringan demi kemajuaan Organisasi.
Menjaga harmonisasi organisasi ditingkat internal & eksternal.
Bekerja sama dengan instansi yang lain.
Bertanggung jawab atas semua kinerjanya kepada ketua selama satu periode.
Membuat laporan PJ kepada ketua dalam 1 periode
f.Devisi Minat dan Bakat
Menfasilitasi anggota untuk mengembangkan bakatnya.
Mengadakan pelatihan-pelatihan yang terkait dengan minat dan bakat anggota.
Bertanggung jawab atas kinerjanya kepada ketua dalam satu periode.
Membuat laporan PJ kepada ketua dalam 1 periode

3.Tugas Dan Wewenang Ketua
Ketua merupakan struktur organisasi yang bertugas melakukan koordinasi pelaksanaan program-program operasional, serta mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
Melaksanakan ketetapan sebagai ketua.
Melakukan pengembangan organisasi sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada.
Melakukan konsolidasi, koordinasi dan evaluasi.
Melakukan kebijakan yang tidak bertentangan dengan AD/ART.
Ketua harus akomodatif terhadap aspirasi dan kreatifitas anggota.
Ketua harus berperan aktif dalam wilayah sosial, budaya, politik, dan ekonomi baik tingkat lokal dan regional.
Membantu Devisi-Devisi yang ada dalam pembagian tugas serta tanggung jawab sesuai dengan ketentuan organisasi.
Ketua berwenang untuk bekerja sama guna aliansi taktis dan strategis dengan kesadaran yang mendalam serta didasarkan pada semangat hirarki (kekeluargaan).
Ketua berwenang memaparkan GBHO dan program kerja yang telah diatur dan ditetapkan dalam keputusan organisasi yang lebih tinggi (RM).
Berwenang melakukan kontrol kepada RM sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku.















BAB I
PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita bisa mengembangkan amanah yang diembankan pada kita sebagai mahasiswa yang memiliki konstribusi yang besar terhadap kemajuan masyarakat.
Mengingat peranan HIMA PRODI PBA sebagai organisasi ditingkat program studi Fakultas Agama Islam yang berada di naungan Universitas Yudharta Pasuruan, maka berawal dari kesadaran sebagai agent of change dengan menjunjung tinggi kemauan yang keras melakukan perubahan demi kebaikan masa depan yang lebih terarah menjadi dasar untuk membangun HIMA PRODI PBA yang sistematis, tepat dan mengena pada sasaran (tujuan) organisasi, maka sebagai realisasinya dari gagasan tersebut dibutuhkanlah GBHO (Garis-Garis Besar Haluan Organisasi).

BAB II
LANDASAN
Pasal 1
Landasan ideal HIMA PRODI PBA adalah Pancasila dan UUD 1945

Pasal 2
Landasan konstitusional HIMA PRODI PBA adalah AD/ART HIMA PRODI PBA

Pasal 3
Landasan operasional HIMA PRODI PBA adalah GBHO dan ketetapan Republik Mahasiswa (RM)

BAB III
FUNGSI
Pasal 4
Fungsi GBHO adalah sebagai;
1.Acuan dasar sebagai pelaksanaan seluruh kegiatan institusi dalam HIMA PRODI PBA.
2.Landasan operasional organisasi dan mengarahkan seluruh kebijakan HIMA PRODI PBA.


BAB IV
ORIENTASI HIMA PRODI PBA
Pasal 5
Orientasi Umum

1.Meningktakan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam mencapai intelektual yang bertanggung jawab.
2.Semua kegiatan HIMA PRODI PBA diorientasikan pada pengejawantahan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi
3.Peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan Pendidikan Bahasa Arab yang berorientasi pada sektor sosial kemasyarakatan demi mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pasal 6
Orientasi Khusus

1.Mengusahakan kegiatan yang berorientasikan pada pengembangan intelektual dan skill kepribadian demi terciptanya Sumber Daya Manusia HIMA PRODI PBA yang siap bersaing.
2.Bersama-sama elemen lain berperan aktif dalam memberikan pendidikan dan pengembangan kesadaran berorganiasasi.
3.Menciptakan suasana kehidupan kemahasiswaan yang harmonis dan kondusif bagi civitas akademik HIMA PRODI PBA
4.Menciptakan komunikasi yang efektif dan efisien dengan lembaga-lembaga luar kampus
5.menjalin hubungan baik antar organisasi kampus maupun luar kampus.



BAB V
PENUTUP

Pasal 7
1.Hal-hal yang belum diatur dalan GBHO ini akan diatur oleh Pengurus HIMA PRODI PBA yang berdasarkan Musyawarah Mufakat
2.GBHO ini mengikat seluruh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab.
3.GBHO ini berlaku sejak ditetapkan.

PEDOMAN ADMINISTRASI

PEDOMAN ADMINISTRASI
HIMA PRODI PBA
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN

Berdasarkan hasil Rapat Kerja HIMA PRODI PBA Universitas Yudharta Pasuruan mengenai internal organisasi, maka dipandang perlu untuk melakukan pembenahan administrasi organisasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi obyektif organisasi, sehingga dapat dijadikan landasan yuridis organisasi. Adapun kelengkapan administrasi yang akan diatur dalam pedoman ini adalah sebagai berikut :
Kop (Surat )
Penomoran Surat
1.Kop Surat
Format pembuatan dan penulisan kop ( kepala ) surat akan diatur dengan ketentuan menurut hirarki struktur organisasi, yaitu :

Logo Hima Prodi PBA diletakan di sebelah atas kertas
Dibawah Logo Hima Prodi PBA tertuliskan :
Baris 1 : Fakultas Agama Islam
Baris 2 : Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab
Baris 3 : Universitas Yudharta Pasuruan
Baris 4 : Alamat Sekretariat, Email dan Facebook

2.Penomoran Surat
Format pembuatan dan penomoran surat akan diatur dengan ketentuan sbb :
 
Surat ke dalam

Surat kedalam di beri kode A dengan pengertian proses surat- menyurat yang ditujukan ke dalam lingkungan internal masing-masing tingkatan organisasi dengan ketentuan sebagai berikut :


Contoh : Nomor urut surat / kode surat / Nama Fakultas /HIMA PBA. Universita yang dimaksud (bisa disingkat) / Bulan / Tahun



Surat ke luar

Surat keluar diberi kode B.Surat keluar dapat dibagi menjadi dua , yaitu : Surat Keluar Internal dan Surat Keluar Eksternal.

B.1.Surat Keluar Internal

Surat Keluar Internal diberi kode ( B-Int ) dengan pengertian surat menyurat tersebut ditujukan keluar lingkungan internal masing- masing tingkatan organisasi yang kemudian diatur sebagai berikut :

Contoh : Nomor urut surat / B-Int/ Nama Fakultas /HIMA PBA. Universita yang dimaksud (bisa disingkat) / Bulan / Tahun

B.2. Surat Keluar Eksternal
Surat Keluar Eksternal diberi kode ( B-Eks ) dengan pengertian surat menyurat tersebut ditujukan keluar lingkungan eksternal masing- masing tingkatan organisasi yang kemudian diatur sebagai berikut :
Contoh : Nomor urut surat / B-Eks/ Nama Fakultas /HIMA PBA. Universita yang dimaksud (bisa disingkat) / Bulan / Tahun


Surat Rekomendasi

Contoh : Nomor urut surat / Rekom/ Nama Fakultas /HIMA PBA. Universita yang dimaksud (bisa disingkat) / Bulan / Tahun


Demikan Pedoman administrasi ini dibuat dalam rangka melaksanakan tertib administrasi demi terwujudnya efektifitas kinerja organisasi. Adapun beberapa hal yang belum diatur dan atau masih memerlukan penjelasan akan ditentukan dan atau dijelaskan lebih lanjut oleh Ketua Hima Prodi PBA beserta Pengurus harian yang lain


Pasuruan, 06 Januari 2010


Mengetahui,
Sekretaris Hima Prodi PBA
Fakultas Agama Islam
Universitas Yudharta Pasuruan




( Muhtadin Al-Ghufri )

struktur Hima Prodi PBA

Susunan Pengurus

HIMPUNAN MAHASISWA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
(HIMA Prodi PBA)
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN



Pelindung : Drs, Syaifulloh, MPd
penanggung jawab : Amang Fathurrohman, MPd
Ketua : Kholisotun Nuroniah
Sekretaris : Muhtadin
Bendahara : Lilik Nadhiroh

Devisi-Devisi


Devisi Intelektual dan Pengembangan Bahasa
Trisnawati (CO)
Faid Nus Isnaini
Nur Hafidhoh
Ach. Syamsul


Devisi Pengembangan Minat dan Bakat:
Mutmainnah (CO)
Yatimatul Fitriyah
khoiriyah


Devisi Humas :
Lailatul Akhadiah (CO)
Nuzuliah
Fatihatul Ulya

AD/ART HIMA PRODI PBA

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA

HIMPUNAN MAHASISWA PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

(HIMA PRODI PBA)

UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN


MUKADDIMAH

Bahwa dalam rangka mewujudkan ideologi Pancasila di kampus Universitas Yudharta Pasuruan, maka sebagai mahasiswa yang menganut ideologi / paham tersebut, harus terlibat secara pro aktif dalam pengambilan kebijakan dan mengambil peran penting di dalamnya. Organisasi Mahasiswa Intra Kampus (OMIK) adalah lembaga resmi di tingkat kemahasiswaan yang secara legal diakui dan merupakan manifestasi peran mahasiswa di kampus ini.

Sesuai dengan AD / ART kemahasiswaan Universitas Yudharta Pasuruan, bahwa untuk menuju kearah tersebut, yakni dengan mekanisme HIMA PRODI melalui Kongres Hima Prodi. Guna kepentingan diatas, maka dengan memohon rahmat dan lindungan Tuhan YME, didirikanlah HIMA PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB Fakultas Agama Islam Universitas Yudharta Pasuruan yang bersifat kebangsaan, demokratis, terbuka, dan pluralistik, dengan Anggaran Dasar sebagai berikut :



ANGGARAN DASAR

BAB I

NAMA DAN KEDUDUKAN


Pasal 1

  1. Organisasi ini bernamakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab yang kemudian disingkat menjadi (HIMA PRODI PBA).

  2. Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab adalah sebuah sentrum atau wadah organisasi kemahasiswaan program studi.

  3. HIMA PRODI PBA Berkedudukan di Sekret Garuda Universitas Yudharta Sengonagung Purwosari Pasuruan 67162


BAB II

Dasar dan AZAZ


Pasal 2

Dasar

  • Pancasila

  • UUD 1945

  • Keputusan Rektor Nomor. 003/31/XI.UYP/04/2003


Azaz

  • Kebersamaan dan kekeluargaan

  • Kerja Sama dan Sama Kerja

  • Kreatif dan Inovatif


BAB III

FUNGSI DAN TUJUIAN


Pasal 3


Fungsi

  • Sebagai wahana pembinaan serta pengembangan akademis dan profesi Mahasiswa

  • Sebagai wadah atau sentrum pembinaan kepribadian Mahasisaw dan pengembangan bakat

  • Memper erat hubungan emosional antar Mahasiswa

Tujuan

  • Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

  • Menjadi Mahasiswa yang siap pake di masyarakat.

  • Menjadi Mahasiswa Yang Kreatif dan Inovatif



BAB IV

KEANGGOTAAN DAN KEPENGURUSAN


Pasal 4


Keanggotaan

  • Keanggotaan HIMA PRODI PBA adalah seluruh Mahasiswa program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Yudharta Pasuruan


Pasal 5


Kepengurusan

  • Kepengurusan organisasi HIMA PRODI PBA Anggota yang terpilih dalam kogres Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab,

  • Masa Kepengurusan Selama satu tahun terhitung sejak terpilih dan ditetapkan.



STRUKTUR ORGANISASI


Pasal 6


Stuktur organisasi Himpunan Mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Universitas Yudharta Pasuruan Terdiri Dari:

  • Ketua Umum

  • Sekretaris

  • Bendahara

  • Devisi Intelektual dan Pengembangan Bahasa

  • Devisi Minat dan Bakat

  • Devisi Hubungan Masyarakat (HUMAS)



BAB V

PERMUSYAWARATAN


Pasal 7

Permusyawaratan dalam organisasi HIMA PRODI PBA Fakultas Agama Islam Universitas Yudharta Pasuruan terdiri dari :

  1. Kongres HIMA PRODI PBA (KONGHIMA PBA).

  2. Musyawarah Pimpinan (MUSPIM).

  3. Rapat Bulanan Departemen-Departemen

  4. Rapat Kerja (Raker).

  5. Kongres Luar Biasa (KLB)


BAB VI

PENGAMBILAN KEPUTUSAN


Pasal 8

  1. Pengambilan Keputusan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

  2. Apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak (voting).


BAB VII

KEUANGAN


Pasal 9

Keuangan HIMA PRODI PBA diperoleh dari:

  1. Dana kemahasiswaan yang telah dianggarkan oleh pihak Universita Yudharta Pasuruan.

  2. Iuran Anggota

  3. Usaha-Usaha lain yang sifatnya tidak mengikat


BAB VIII

ATURAN TAMBAHAN


Pasal 10

  1. Hal-hal yang belum diatur di dalam Anggaran Dasar ini, akan diatur oleh pengurus Hima Prodi PBA berdasarkan Musyawarah Mufakat dalam rapat Tim Anggaran Rumah Tangga.

  2. Anggaran Dasar ini hanya dapat dirubah oleh Pengurus berdasarkan musyawarah mufakat dalam rapat kepengurusan.

  3. Anggaran Dasar ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.


BAB IX

PENUTUP


Pasal 11

  1. Hal-hal yang belum diatur dalan AD ini akan diatur oleh Pengurus HIMA PRODI PBA yang berdasarkan Musyawarah Mufakat

  2. AD ini mengikat seluruh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab.

  3. AD ini berlaku sejak ditetapkan.

ANGGARAN RUMAH TANGGA

(HIMA PRODI PBA)

UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN


BAB I

LAMBANG DAN MOTO


Pasal 1

Gambar Lambang/Logo











BAB II

MAKNA LOGO


Pasal 2


Bentuk:

  • Kubah : Wadah yang menaungi dalam “beribadah” dalam bingkai keislaman

  • Tapal kuda : Semangat yang berpacu dalam menggapai cita-cita

  • Bintang : Mengikuti ajaran Nabi & Para Shahabat-shahabatnya

  • Buku+pena : Selau menuntut ilmu Dan berkarya


Warna:

  • Biru Langit : Tingginya cita-cita yang akan dicapai

  • Hijau : Kesejukan dan kedamaiaan yang akan dikembangkan hima prodi

  • Kuning : Kesejahtraan


BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA


Pasal 3


Hak Anggota Hima Prodi PBA :

  1. Setiap Anggota Hima Prodi PBA berhak mengajukan pendapat

  2. Setiap Anggota Hima Prodi PBA berhak memilih dan dipilih menjadi ketua Hima Prodi PBA.

  3. Setiap Anggota Hima Prodi PBA berhak menggunakan fasilitas organisasi

  4. Setiap Anggota Hima Prodi PBA mempunyai hak untu menyalurkan,mengarakan dan menyampaikan argumennya.

Kewajiban Anggota Hima Prodi PBA:

  1. Setiap anggota wajib mentaati dan menjalankan AD/ART dan peraturan lainnya yang telah ditetapkan bersama.

  2. Setiap wajib menjaga nama baik organisasi dan almamater kampus

  3. Setiap anggota wajib menjunjung tinggi Almamater Universita Yudharta Pasuruan.



BAB III

SANKSI


Pasal 4

  1. Sanksi diberikan kepada anggota HIMA PRODI PBA yang melanggar ketentuan AD/ART dan peraturan lainnya yang telah disepakati bersama degan tahapan teguran,peringatan dan sanksi

  2. Penjatuhan sanksi adalah Ketua dan elemen yang terkait dibawahnya.

  3. Penjatuhan sanksi kepada anggota HIMA PRODI PBA yang melakukan pelanggaran disesuaikan dengan kesepakatan bersama



BAB IV

KONGRES HIMA PRODI PBA


Pasal 5

Kongres Hima Prodi PBA Bertugas:

  1. Menetapkan AD/ART HIMA PRODI PBA

  2. Menetapkan GBHO HIMA PRODI PBA

  3. Memilih dan menetapkan ketua dan sekretaris HIMA PRODI PBA Periode berikutnya

  4. Mengevaluasi kinerja HIMA PRODI PBA selama satu periode

  5. Kongres diadakan setahun sekali pada akhir masa periode



PESERTA KONGRES


Pasal 6

Peserta kongres terdiri dari:

Pesrta Aktif:

  • Peserta Aktif adalah seluruh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Yudharta Pasuruan.


Peninjau:

  • Peninjau adalah alumni Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Yudharta Pasuruan.

Undangan:


    • Undangan adalah meraka yang diundang secara khusus oleh panitia kongres Hima Prodi Pendidikan Bahasa Arab



BAB V

PERMUSYAWARATAN


Pasal 7

  1. KONG HIMA PRODI PBA

  1. KONG HIMA PBA merupakan forum atau instansi tertinggi dalam Organisasi Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Yudharta Pasuruan.

  2. KONG HIMA PBA dihadiri oleh semua Mahasiswa HIMA PRODI PBA UYP.

  3. KONG HIMA PBA diadakan 1 (satu) tahun sekali

  4. KONG HIMA PBA baru sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 1/2 dari jumlah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UYP.


  1. Musyawarah Pimpinan (MUSPIM)

  1. Musyawarah Pimpinan adalah forum atau instansi tertinggi setelah Kongres

  2. MUSPIM dihadiri oleh semua pengurus HIMA PRODI PBA (Ketua umum dan Koordinator Devisi)

  3. MUSPIM diadakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam satu periode oleh kepengurusan

  4. MUSPIM menghasilkan ketetapan-ketetapan organisasi dan peraturan-peraturan organisasi


  1. Rapat Kerja

Mengadakan penilaian terhadap pelaksanaan program Koordinator Devisi sebelumnya dan menetapkan program selanjutnya.



  1. Rapat Bulanan Koordinator Devisi

  1. Mengadakan penilaian terhadap pelaksanaan kerja sebelumnya dan menetapkan program selanjutnya.

  2. Diadakan dalam internal kepengurusan Koordinator Devisi


  1. Kongres Luar Biasa (KLB)

  1. Kongres Luar Biasa hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan darurat yang dinilai mengancam keutuhan, kesatuan, dan eksistensi organisasi, berdasarkan persetujuan minimal ½ + 1dari Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UYP yang masih tercatat aktif.

  2. Materi dan pengesahan dalam pengambilan keputusan dibahas dan ditetapkan lebih lanjut dalam KLB yang sedang berjalan.



BAB VI

QUORUM DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


Pasal 8

  1. Musyawarah, Kongres dan rapat-rapat seperti tersebut dalam pasal ART ini adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari ½ jumlah suara yang sah.

  2. Pengambilan keputusan selain mengenai ayat (1) pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin secara musyawarah untuk mufakat, dan apabila hal ini tidak tercapai, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

  3. Keputusan mengenai pemilihan seorang ketua dilaksanakan secara bebas dan rahasia.

  4. Dalam hal pemilihan terdapat suara yang seimbang, maka keputusan diserahkan kepada pimpinan sidang dengan azas musyawarah dan kekeluargaan.


BAB VII

PENUTUP


Pasal 7

  1. Hal-hal yang belum diatur dalan AD/ART ini akan diatur oleh Pengurus HIMA PRODI PBA yang berdasarkan Musyawarah Mufakat

  2. ART ini mengikat seluruh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab.

  3. ART ini berlaku sejak ditetapkan.