Diakui
atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini kian
memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja Di berbagai kota ditambah
dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya
penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka
adalah bukti bahwa pendidikan kita telah gagal membentukakhlak anak
didik.
Pendidikan
kita selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan.
Kita lihat berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang
justru merusak diri mereka.
Tampk
dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi kemunafikan karena yang
dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta
didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam
menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di
negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja.
Kenyataannya
yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan
sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang
menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti
menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan.
Melalui buku Filsafat Pendidikan Islami
ini, Ahmad Tafsir menggugat pendidikan kita yang masih menghasilkan
lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba
dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau
gila harta dan serakah.
Menurut
penulis yang sehari-hari mengajar filsafat di Universitas Islam negeri
Bandung ini, kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar
pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan
kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir
menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak
menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak.
Karena
itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya
ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut
harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga
unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan
nilai kemanusiaan yang tinggi.
Hanya
saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang
diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang
lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM
yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan
anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia.
Padahal,
manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Untuk itu penulis
membuka kajiannya dengan penjelasan mengenai hakekat manusia.
Penjelasan soal ini dibagi dalam tiga bagian yakni penjelasan tentang
manusia menurut manusia. Pada bagian ini banyak dikutip pendapat para
filosof yang memaparkan unsur-unsur manusia.
Bagian
kedua memuat penjelasan Allah tentang manusia. Di sini diungkap
beberapa ayat Alquran yang merinci faktor-faktor penentu bagi kehidupan
manusia. Misalnya. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi dengan banyak kelebihan. Manusia juga dilengkapi banyak kelemahan
yang tidak dimiliki makhluk lain.
Bahasan
seputar manusia ditutup dengan bagian terakhir, yaitu inti manusia.
Penjelasan soal inti manusia didasarkan pada hadis qudsi yang
menerangkan bahwa ada tujuh kulit yang melingkupi inti manusia.
Pembahasan tentang inti manusia ini tidak bisa dipisahkan dari dunia
pendidikan. Sebab pendidikan yang sejati adalah untuk manusia.
Selain
mengurai hakikat manusia, penulis juga menjelaskan soal hakikat
pendidikan, tujuan pendidikan, dan pengembangan pendidikan sebagai
usaha membangun manusia seutuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar